PROSODI INDIA DAN JAWA KUNA

Jumat, 18 Desember 2015

| | |

3.  PROSODI INDIA DAN JAWA KUNA
            Dalam buku kalangwan ini dijelaskan tentang prosodi India dan prosodi Jawa kuna dengan sedikit membandingkan metrumnya. Menurut karangan-karangan India tentang ilmu persajakan, maka kawya yang ideal dibagi menurut pupuh (sarga) dengan metrum yang sama, sedangkan untuk pupuh penutupnya menggunakan metrum yang berbeda. Namun beberapa penyair mengganti metrum dalam pupuh yang sama, seperti dalam bagian pertama Ramayana versi Jawa dalam metrum Arya (metrum dari India yang kaidahnya berbeda dengan kaidah seperti di atas dan dalam sastra Jawa Kuna jarang dipakai) dan berakhir dengan dua bait dalam metrum Malini.
Menurut jurnal populer, cerita Ramayana di Jawa berbeda dengan versi India. Teks ditulis dalam bentuk kakawin dan tidak menggunakan bentuk kavya. Kavya merupakan bentuk puisi asli India. Memang ada kesamaan antara kavya dengan kakawin, seperti umlah suku kata tiap baris, jumlah baris yang hanya empat, serta adanya vokal panjang dan pendek. Ini juga merupakan pengaruh India yang secara tidak langsung berpengaruh dalam epik Ramayana versi Jawa.
Soebandio, (2001:21) Kakawin Ramayana telah dimodivikasi sedemikian rupa mengikuti local genius yang berlaku pada masyarakat Jawa kala itu. Oleh karena itu, meski dalam faktanya kakawin Ramayana mendapat pengaruh unsur-unsur India, namun tetap menunjukan identitas “kejawaannya".
Dalam buku kalangwan, penjelasan tentang perbedaan antara prisodi India dan Jawa Kuna kurang kuat dalam menjelaskan, walaupun sudah cukup lengkap penjabaran dengan beberapa contoh. Tapi, kurang fokus dalam pembandingannya. Hal ini mungkin disebabkan karena banyak kalimat yang susah dipahami, sehingga membuat pembaca sedikit bingung memahaminya.
            Metrum-metrum yang digunakan dalam puisi kakawin dua kali lebih besar daripada yang tercantum dalm daftar Tanakung yang berjudul Wrttasancaya dan termasuk bidang teori, bukan praktek puisi kakawin dalam sastra Jawa Kuna. Hal ini disebabkan karena Tanakung menganalisa karangan-karangan mengenai teori persajakan dari India.
Lain dengan Wrttasancaya, dalam Wrttāyana tidak didasarkan atas sebuah contoh dari India. Namun tidak berarti karya ini metrum-metrumnya mencerminkan praktek persajakan Jawa Kuna. Lebih dari separuh metrum yang dimuat dalam kakawin Jawa Kuna sama sekali tidak terdapat dalam buku pegangan India. Drs. Afendy Widayat dalam diktat pengantar kajian sastra menyebutkan , buku-buku pegangan prosodi atau ilmu persajakan seperti kakawin disebut chandahsastra.
Kakawin Jawa Kuna memang sangat dipengaruhi oleh tradisi puisi di India, namun sudah menjadi tradidi yang cukup kuat membentuk ciri-ciri sendiri. Dan diantara semua kakawin, hanya Ramayana yang mempunyai hubungan yang erat dengan persajakan India. Terdapat pula metrum yang paling mencolok dan populer tidak terdapat dalam buku pelajaran dari India yaitu metrum Jagaddhita. Dan metrum ini menjadi metrum paling utama dalam tradisi penyairan Jawa Kuna.
Sejumlah besar metrum yang tidak terdapat di India berasal dari Jawa. Kakawin-kakawin periode klasik (sampai masa jayanya Majapahit) secara relatif bebas dari unsur asing, sedangkan kakawin dari jaman kemunduran Majapahit dan khususnya kakawin dari periode Bali ( yaitu sesudah kerajaan Bali memisahkan diri dari Majapahit) memperlihatkan penyimpangan yang makin banyak dari kaidah-kaidah asli, sampai peraturan-peraturan diabaikan. Disiplin dalam mempertahankan metrum mulai kendur dan pengetahuan mengenai prosodi India mulai pudar.
Namun dalam buku ini kurang detail dalam menerangkan tentang prosodi, metrum serta pupuh, sehingga pembaca kurang memahami tentang hal-hal tersebut. Dalam buku ini langsung mulai menjelaskan tentang prosodi India dan Jawa Kuna dengan mengajukan contoh-contoh dalam beberapa kakawin. Berdasarkan beberapa sumber, seperti wikipedia dijelaskan tentang pengertian dan penjelasan tentang seputar prosodi, metrum serta pupuh secara lebih jelas. Metrum merupakan ilmu kesustraan yang mendeskripsikan pola bahasa dalam sebuah baris puisi atau bisa dijelaskan sebagai satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi. Dan metrum sering digunakan dalam kakawin.
Sedangkan menurut beberapa sumber, seperti KBBI dan sumber lainnya dapat disimpulkan bahwa prosodi merupakan kajian tentang persajakan atau perkara yang berkaitan dengan bentuk bunyi bahasa yang dapat didengar dan berfokus pada ujaran, seperti tekanan, intonasi, tempo, jeda, mantra, rima, irama, dan bait dalam sajak.
Selain tidak menerangkan tentang metrum dan prosodi, buku kalangwan juga belum menjabarkan keterangan tentang pupuh. Pupuh dalam buku ini juga banyak disebutkan, namun belum dijelaskan apa itu pupuh. Menurut wikipedia bahasa Indonesia, pupuh merupakan bentuk puisi tradisional Jawa yang punya suku kata dan rima tertentu di setiap baris juga bisa diartikan sebagai himpunan tembang macapat yang terdiri dari beberapa pada (himpunan kalimat tembang yang berakhir sampai titik). Pupuh mempunyai beberapa jenis, yaitu :

1.      asmarandana,
2.      balakbak,
3.      dandanggula,
4.      durma,
5.      gambuh,
6.      gurisa,
7.      jurudemung,
8.      kinanti,
9.      lambang,
10.  magatru,
11.  maskumambang,
12.  mijil,
13.  pangkur,
14.  pocung,
15.  sinom,
16.  wirangrong,
17.  ladrang.


4. METRUM KIDUNG
Metrum kakawin dan metrum kidung terdapat perbedaan dalam persajakannya. Metrum kidung tidak berasal dari India, melainkan dari Jawa. Metrum kidung disebut denga metrum tengahan dan prinsip dasarnya sama dengan dalam puisi Jawa Modern yang dinamakan metrum macapat. Ciri-ciri umumnya yaitu, sebagai berikut.
1.      Jumlah baris dalam satu bait tetap sama selama metrumnya tidak diganti.
2.      Jumlah suku kata di setiap baris tetap, tetapi panjang baris dapat berubah menurut kedudukan dalam bait.
3.      Sifat vokal dalam suku kata yang menutup baris, juga ditemukan dalan metrum. Dalam persajakan kidung memperlihatkan semacam rima yang tidak dikenal di India.
Sifat khas yang terdapat dalam metrum tengahan dan tidak ada dalam macapat Jawa Modern yaitu kadang-kadang dalam pupuh yang sama diperpadukan berbagai metrum, sehingga susunannya cukup rumit. Di dalam buku kalangwan ini juga disebutkan beberapa contoh susunan kidung yang cukup jelas dan sederhana, serta pengarang menjelaskan alasannya dalam meneliti kidung dengan sederhana. Yaitu karena sedikitnya materi dan bahan yang demikian rumit dan rawan.
Selain itu, kidung-kidung ditulis dalam idiom puitis Jawa Pertengahan yang lebih bebas dalam hal tatabahasa, tidak terikat pada kaidah-kaidah pasti seperti kakawin-kakawin Jawa Kuna. Sehingga tugas mempersiapkan sebuah edisi kritis mengenai sebuah teks kidung jauh lebih sukar.
Menurut Denys Lombard dalam tulisannya yang berjudul Nusa Jawa Warisan Kerajaan, ia menyebutkan bahwa sebagian besar kidung telah dikonservasi, namun kurang diperhatikan oleh peneliti daripada kakawin. Mungkin hal ini salah satunya disebabkan oleh sedikitnya materi dan bahan yang rumit dan rawan, seperti yang telah di sebutkan oleh penulis buku kalangwan.
Denys Lombard pun menyebutkan bahwa kidung-kidung menggali tema baru yang sering diambil dari wiracarita Majapahit, dengan meninggalkan model India. Di buku kalangwan juga telah dijelaskan tentang prinsip kidung yang sama dengan metrum puisa Jawa modern.
Sehingga buku kalangwan ini sudah banyak menjelaskan tentang detail-detail masalah kakawin dan kidung, terutama untuk masalah metrum, prosodi India dan Jawa Kuna. Walaupun utuk masalah kidung masih belum memaparkan ikhtisar mengenai metrum kidung karena penulis mengaku tidak mampu membuatnya, dan masih banyak juga pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

Daftar Pustaka

P.J.Zoetmulder.1983.Kalangwan. Jakarta: Djambatan
nusajawawarisankerajaan_kerajaankonsentris_DenysLombard_Googlebooks.htm
            Widayat, drs. Afendy.Diktat Pengantar Kajian Sastra.





0 komentar:

Posting Komentar