3. PROSODI INDIA
DAN JAWA KUNA
Dalam buku kalangwan ini dijelaskan
tentang prosodi India dan prosodi Jawa kuna dengan sedikit membandingkan metrumnya.
Menurut karangan-karangan India tentang ilmu persajakan, maka kawya yang ideal
dibagi menurut pupuh (sarga) dengan metrum yang sama, sedangkan untuk pupuh
penutupnya menggunakan metrum yang berbeda. Namun beberapa penyair mengganti
metrum dalam pupuh yang sama, seperti dalam bagian pertama Ramayana versi Jawa
dalam metrum Arya (metrum dari India yang kaidahnya berbeda dengan kaidah
seperti di atas dan dalam sastra Jawa Kuna jarang dipakai) dan berakhir dengan
dua bait dalam metrum Malini.
Menurut jurnal populer, cerita Ramayana
di Jawa berbeda dengan versi India. Teks ditulis dalam bentuk kakawin dan tidak
menggunakan bentuk kavya. Kavya merupakan bentuk puisi asli
India. Memang ada kesamaan antara kavya dengan kakawin, seperti umlah
suku kata tiap baris, jumlah baris yang hanya empat, serta adanya vokal panjang
dan pendek. Ini juga merupakan pengaruh India yang secara tidak langsung
berpengaruh dalam epik Ramayana versi Jawa.
Soebandio, (2001:21) Kakawin Ramayana telah dimodivikasi sedemikian rupa
mengikuti local genius yang berlaku pada masyarakat Jawa kala itu. Oleh
karena itu, meski dalam faktanya kakawin Ramayana mendapat pengaruh unsur-unsur
India, namun tetap menunjukan identitas “kejawaannya".
Dalam buku kalangwan, penjelasan
tentang perbedaan antara prisodi India dan Jawa Kuna kurang kuat dalam
menjelaskan, walaupun sudah cukup lengkap penjabaran dengan beberapa contoh.
Tapi, kurang fokus dalam pembandingannya. Hal ini mungkin disebabkan karena
banyak kalimat yang susah dipahami, sehingga membuat pembaca sedikit bingung
memahaminya.
Metrum-metrum yang digunakan dalam
puisi kakawin dua kali lebih besar daripada yang tercantum dalm daftar Tanakung
yang berjudul Wrttasancaya dan
termasuk bidang teori, bukan praktek puisi kakawin dalam sastra Jawa Kuna. Hal
ini disebabkan karena Tanakung menganalisa karangan-karangan mengenai teori
persajakan dari India.
Lain dengan Wrttasancaya,
dalam Wrttāyana tidak didasarkan atas
sebuah contoh dari India. Namun tidak berarti karya ini metrum-metrumnya
mencerminkan praktek persajakan Jawa Kuna. Lebih dari separuh metrum yang
dimuat dalam kakawin Jawa Kuna sama sekali tidak terdapat dalam buku pegangan
India. Drs. Afendy Widayat dalam diktat pengantar kajian sastra menyebutkan ,
buku-buku pegangan prosodi atau ilmu persajakan seperti kakawin disebut
chandahsastra.
Kakawin Jawa Kuna memang sangat dipengaruhi oleh tradisi
puisi di India, namun sudah menjadi tradidi yang cukup kuat membentuk ciri-ciri
sendiri. Dan diantara semua kakawin, hanya Ramayana yang mempunyai hubungan
yang erat dengan persajakan India. Terdapat pula metrum yang paling mencolok
dan populer tidak terdapat dalam buku pelajaran dari India yaitu metrum
Jagaddhita. Dan metrum ini menjadi metrum paling utama dalam tradisi penyairan
Jawa Kuna.
Sejumlah besar metrum yang tidak terdapat di India
berasal dari Jawa. Kakawin-kakawin periode klasik (sampai masa jayanya
Majapahit) secara relatif bebas dari unsur asing, sedangkan kakawin dari jaman
kemunduran Majapahit dan khususnya kakawin dari periode Bali ( yaitu sesudah
kerajaan Bali memisahkan diri dari Majapahit) memperlihatkan penyimpangan yang
makin banyak dari kaidah-kaidah asli, sampai peraturan-peraturan diabaikan.
Disiplin dalam mempertahankan metrum mulai kendur dan pengetahuan mengenai
prosodi India mulai pudar.
Namun dalam buku ini kurang detail dalam menerangkan
tentang prosodi, metrum serta pupuh, sehingga pembaca kurang memahami tentang
hal-hal tersebut. Dalam buku ini langsung mulai menjelaskan tentang prosodi
India dan Jawa Kuna dengan mengajukan contoh-contoh dalam beberapa kakawin.
Berdasarkan beberapa sumber, seperti wikipedia dijelaskan tentang pengertian
dan penjelasan tentang seputar prosodi, metrum serta pupuh secara lebih jelas.
Metrum merupakan ilmu kesustraan yang mendeskripsikan pola bahasa dalam sebuah
baris puisi atau bisa dijelaskan sebagai satuan irama yang ditentukan oleh
jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi. Dan metrum sering
digunakan dalam kakawin.
Sedangkan menurut beberapa sumber, seperti KBBI dan
sumber lainnya dapat disimpulkan bahwa prosodi merupakan kajian tentang
persajakan atau perkara yang berkaitan dengan bentuk bunyi bahasa yang dapat
didengar dan berfokus pada ujaran, seperti tekanan, intonasi, tempo, jeda,
mantra, rima, irama, dan bait dalam sajak.
Selain tidak menerangkan tentang metrum dan prosodi, buku
kalangwan juga belum menjabarkan keterangan tentang pupuh. Pupuh dalam buku ini
juga banyak disebutkan, namun belum dijelaskan apa itu pupuh. Menurut wikipedia
bahasa Indonesia, pupuh merupakan bentuk puisi tradisional Jawa yang punya suku
kata dan rima tertentu di setiap baris juga bisa diartikan sebagai himpunan
tembang macapat yang terdiri dari beberapa pada (himpunan kalimat tembang yang
berakhir sampai titik). Pupuh
mempunyai beberapa jenis, yaitu :
1.
asmarandana,
2.
balakbak,
3.
dandanggula,
4.
durma,
5.
gambuh,
6.
gurisa,
7.
jurudemung,
8.
kinanti,
9.
lambang,
10. magatru,
11. maskumambang,
12. mijil,
13. pangkur,
14. pocung,
15. sinom,
16. wirangrong,
17. ladrang.
4. METRUM KIDUNG
Metrum kakawin dan metrum kidung terdapat perbedaan dalam
persajakannya. Metrum kidung tidak berasal dari India, melainkan dari Jawa.
Metrum kidung disebut denga metrum tengahan
dan prinsip dasarnya sama dengan dalam puisi Jawa Modern yang dinamakan metrum macapat. Ciri-ciri umumnya yaitu,
sebagai berikut.
1.
Jumlah baris dalam
satu bait tetap sama selama metrumnya tidak diganti.
2.
Jumlah suku kata di
setiap baris tetap, tetapi panjang baris dapat berubah menurut kedudukan dalam
bait.
3.
Sifat vokal dalam
suku kata yang menutup baris, juga ditemukan dalan metrum. Dalam persajakan
kidung memperlihatkan semacam rima yang tidak dikenal di India.
Sifat khas yang terdapat dalam metrum tengahan dan tidak ada dalam macapat Jawa Modern yaitu kadang-kadang
dalam pupuh yang sama diperpadukan berbagai metrum, sehingga susunannya cukup
rumit. Di dalam buku kalangwan ini juga disebutkan beberapa contoh susunan
kidung yang cukup jelas dan sederhana, serta pengarang menjelaskan alasannya
dalam meneliti kidung dengan sederhana. Yaitu karena sedikitnya materi dan
bahan yang demikian rumit dan rawan.
Selain itu, kidung-kidung ditulis dalam idiom puitis Jawa
Pertengahan yang lebih bebas dalam hal tatabahasa, tidak terikat pada
kaidah-kaidah pasti seperti kakawin-kakawin Jawa Kuna. Sehingga tugas
mempersiapkan sebuah edisi kritis mengenai sebuah teks kidung jauh lebih sukar.
Menurut Denys Lombard dalam tulisannya yang berjudul Nusa
Jawa Warisan Kerajaan, ia menyebutkan bahwa sebagian besar kidung telah
dikonservasi, namun kurang diperhatikan oleh peneliti daripada kakawin. Mungkin
hal ini salah satunya disebabkan oleh sedikitnya materi dan bahan yang rumit
dan rawan, seperti yang telah di sebutkan oleh penulis buku kalangwan.
Denys Lombard pun menyebutkan bahwa kidung-kidung
menggali tema baru yang sering diambil dari wiracarita Majapahit, dengan
meninggalkan model India. Di buku kalangwan juga telah dijelaskan tentang
prinsip kidung yang sama dengan metrum puisa Jawa modern.
Sehingga buku kalangwan ini sudah banyak menjelaskan
tentang detail-detail masalah kakawin dan kidung, terutama untuk masalah
metrum, prosodi India dan Jawa Kuna. Walaupun utuk masalah kidung masih belum
memaparkan ikhtisar mengenai metrum kidung karena penulis mengaku tidak mampu
membuatnya, dan masih banyak juga pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Daftar Pustaka
P.J.Zoetmulder.1983.Kalangwan.
Jakarta: Djambatan
nusajawawarisankerajaan_kerajaankonsentris_DenysLombard_Googlebooks.htm
Widayat, drs. Afendy.Diktat Pengantar Kajian Sastra.
0 komentar:
Posting Komentar