analisis novel pra dan pasca kemerdekaan (serat rangsang tuban dan novel asmarani)

Senin, 14 Desember 2015

| | |


UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP
SEJARAH SASTRA JAWA
MENGANALISIS NOVEL PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN
(Novel Serat Rangsang Tuban dan Novel Asmarani)

Nama     : Annisak Maulani
NIM       : 2601414061
Rombel  : 3


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015


SERAT RANGSANG TUBAN
Serat Rangsang Tuban yang  ini menceritakan tentang kehidupan dua orang pangeran dari Kerajaan Tuban, yang bernama Pangeran Warihkusuma dan Pangeran Warsakusuma. Menurut penulisnya, Ki Padmasusastra, karya ni merupakan petikan dari Serat Wedhaparaya karya Empu Manehguna di Lamongan yang berisi kisah tentang Kerajaan Tuban. Serat Rangsang Tuban ini diterbitkan pada tahun 1912 di Surakarta.
UNSUR INTRINSIK NOVEL :
1.      Tema : perselisihan saudara karena cinta
2.      Tokoh dan penokohan :
·         Tokoh utama dari serat ini adalah Raden Warihkusuma, wataknya sabar, setia, dan pekerja keras. Ini tergambar saat ia terusir dari kerajaan Tuban serta dari kerajaan Banyubiru, juga saat mengabdi kepada Prabu Hertambang. Namun ia terlihat seperti tidak tanggung jawab atas kerajaannya karena melarikan diri ketika diserang oleh Desa Sumbereja.
·         Raden Warsakusuma : iri hati dan berbuat jahat kepada kakaknya karena menikah dengan seorang putri yang cantik.
·         Endang Wresti : wanita cantik yang sabar harus menikah dengan adik dari suaminya.
·         Prabu Hertambang : baik karena menjadikan Warihkusuma menjadi adipati dan menikahkan dengan anaknya.
·         Dewi Wayi : saat menjadi ratu, ia sangat adil, cerdik dan pintar strategi perang.
·         Udakawimba : cerdas dan ahli dalam menata kota.
·         Ki Wulud : baik, suka membantu dan jujur, karena mau merawat Rara Sendang seperti anaknya sendiri dan menolong Udakawimba saat terusir dari Tuban.
·         Patih Toyamarta : penyayang dan baik, karena mau memberikan tahtanya pada orang yang lebih berhak.
3.      Alur/ Plot : maju (alur lurus), karena menceritakan kejadian secara berurutan dari awal sampai akhir.

4.      Latar :
·         Tempat : Kerajaan Tuban, hutan, Kerajaan Banyubiru, Desa Sumbereja, dan gunung tempat bertapa.
·         Waktu : pagi, siang, sore, dan malam hari.
·         Suasana : menyedihkan saat Warihkusuma dihianati adiknya dan harus mengalami pengusiran 2 kali, menegangkan saat terjadi peperangan antar kerajaan, dan menyenangkan saat semua keluarga bisa berkumpul kembali.
5.      Sudut pandang : orag ketiga serba tahu, karena terdapat bagian cerita yang menyiratkan bahwa orang ketiga serba tau apa yang dilakukan tokoh.
6.      Gaya bahasa    : ragam krama.
7.      Amanat :
·         Dengan saudara sendiri jangan berselisih dan bertindak jahat.
·         Cinta tidak bisa dipaksa, maka jangan memaksa seseorang untuk menikah (melakukan nikah paksa).
·         Jangan putus asa dan tetap sabar saat menghadapi masalah.

NOVEL ASMARANI
Novel Asmarani ini menceritakan seorang guru yang mencintai muridnya. Ia pernah mencintai muridnya 2 kali, pertama ia mencintai Paerah dan yang kedua adalah Asmarani yang merupakan adik dari Paerah. Kemudian terjadi permasalahan dalam kisah cinta guru tersebut dengan 2 muridnya yang merupakan saudara (kakak beradik). Novel ini merupakan karya Suparto Brata yang diterbitkan pada tahun 2013. Cerita ini pun pernah ditulis di dalam majalah Jaya Baya 1964 dalam bentuk cerita bersambung.

      UNSUR INTRINSIK NOVEL :

1.      Tema   : Kisah cinta yang tidak biasa
2.      Tokoh dan Penokohan :
·         Asmarani         :
-          pemberani : terlihat saat memanjat pohon dan saat meminta majalah pada gurunya.
-          Nakal : saat melempar buah duwet ke muka Tarwi, mencuri makanan yang akan diberikan untuk bapaknya, dan lain-lain.
-          pintar : menjadi orang sukses ketika kembali ke desa.
-          Suka bercanda dan mudah bergaul : saat menemui tamu utusan ibunya, dan bercanda saat bersama teman-temannya.
·         Marsan                        :
-          Pintar : karena seorang guru.
-          Sopan dan ramah : terlihat saat bertamu ke rumah pak Nataran ( bapaknya Asmarani).
-          Materialistis : terlihat saat tidak jadi menikahi Asmarani saat tahu kalau Asmarani bukan anak dari seorang juragan sawah.
·         Pak Nataran    : bijaksana, tidak banyak bicara dan tanggung jawab. Ini terlihat saat mau merawat Asmarani yang bukan anak kandungnya.
·         Bu Nataran      : mudah marah dan ringan tangan. Ini terlihat saat menghadapi Asmarani yang masih nakal.
·         Tarwi               : mudah bergaul, tidak mengingkari janji dengan Asmarani, pintar, sopan dan mandiri.
·         Paerah             : mudah marah, judes dan sombong.
·         Kerta               : bijaksana, ramah, dan rajin bekerja.
·         Mardinem        : penakut saat diajak Asmarani, pemalu, dan polos.
·         Kadinah          : suka bercanda, dan baik.
·         Saptadi                        : tidak bartanggungjawab dan tidak setiya karena selingkuh dengan perempuan lain.
·         Ibune Saptadi  : bijaksana dan sabar.
·         Ibu Juwita       : sopan, ramah, dan berjuang untuk keluarganya.
·         Mas Parto        : sopan, mudah berteman, suka bercanda, dan rajin bekerja.
3.      Alur / plot        : maju mundur (campuran), karena terdapat bagian yang menceritakat kisah masa lalu dari si tokoh utama (asal usul Asmarani).
4.      Latar (setting)  :
·         Tempat            : ruang kelas, rumahnya Asmarani, pekarangan di samping rumah , rumahnya Tarwi, Yogyakarta, kantor kelurahan, dan di pendapa.
·         Waktu             : pagi, siang, sore, dan malam.
·         Suasana           : senang, sedih, mengharukan, dan juga lucu saat Asmarani melakukan hal-hal yang aneh.
5.      Sudut pandang                        : orang ketiga terbatas.
6.      Gaya bahasa                : jawa ngoko (dialek)
7.      Amanat                       :
·         Jangan bersikap tidak baik kepada saudara sendiri apalagi berselisih .
·         Jangan memilih pasangan dengan hanya melihat kekayaannya.
·         Seorang anak jangan suka membuat orangtua kecewa dan marah.
·         Jangan mudah putus asa.









MENGKOMPARASIKAN NOVEL SERAT RANGSANG TUBAN DAN NOVEL ASMARANI
Dari unsur-unsur intrinsik novel di atas, dapat diambil beberapa perbedaan dan persamaan dari kedua novel tersebut. Berikut ini adalah pembahasan mengenai perbedaan dan persamaan beserta hal-hal yang melatarbelakanginya.
1.      Tema
Dari unsur tema, sekilas tema dari novel Serat Rangsang Tuban dan Asmarani ini tidaklah sama. Namun jika diperhatikan secara mendalam, kedua novel ini mempunyai unsur pembangun tema yang mirip. Tema kedua novel ini sama-sama berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam Serat Rangsang Tuban, tema yang diambil adalah perselisihan antara 2 saudara yang dilatarbelakangi oleh masalah perkawinan. Dua saudara itu, yaitu Pangeran Warihkusuma dan Warsakusuma yang merupakan seorang pangeran dari kerajaan Tuban. Awal perselisihan tersebut adalah saat Pangeran Warsakusuma merebut istri kakaknya dan menikahinya secara paksa. Sedangkan dalam novel Asmarani, tema yang diambil adalah kisah percintaan yang tidak biasa. Kisah percintaan itu antara seorang murid dengan gurunya. Guru tersebut menyukai 2 muridnya yang merupakan kakak beradik. Di dalam novel ini juga terdapat unsur perselisihan antara 2 saudara, yaitu Asmarani dengan kakaknya (Paerah). Walaupun perselisihan tersebut tidak sebesar seperti dalam Serat Rangsan Tuban.
            Kedua novel ini menceritakan kisah percintaan yang dialami oleh 2 saudara. Kisah percintaan yang sama-sama diwarnai perselisihan batin dan fisik antara 2 saudara tersebut. Tema yang berkaitan dengan masalah perkawinan tersebut termasuk tema tradisional. Widati (1986: 33) dalam Mardianto (1996: 23) menjelaskan bahwa tema tradisional pada umumnya mengemukakan masalah yang berkaitan dengan sistem niali budaya yang berlaku dan berakar dalam masyarakat Jawa. Tema tradisional itu salah satunya adalah tema yang berkaitan dengan masalah perkawinan, seperti dalam 2 novel ini.
2.      Tokoh dan Penokohan
Jika dilihat dari segi kebangsaan, tokoh yang dihadirkan dalam Serat Rangsang Tuban adalah tokoh entis Jawa yang mempunyai pangkat tinggi (yang terhormat). Tokoh-tokoh tersebut yaitu keluarga kerajaan Tuban, kerajaan Banyubiru, dan lain-lain. Sedangkan tokoh-tokoh dalam novel Asmarani berasal dari golongan menengah ke bawah, yaitu keluarga petani.
Latar belakang dari perbadaan ini adalah keadaan masyarkatnya pada jaman tersebut. Pada jaman sebelum kemerdekaan, keadaan masyarakatnya masih masyarakat kerajaan. Hal ini membuat cerita yang disajikan adalah cerita dari lingkungan kerajaan yang nama-nama tokohnya juga menggunakan gelar-gelar kerajaan, seperti pangeran, patih, dan lain-lain. Sedangkan dalam Asmarani, lingkungannya sudah tidak berbentuk kerajaan, lingkungannya sudah modern dan lebih maju. Hal ini karena kehidupan masyarakat yang sudah merdeka. Nama-nama yang digunakan pun sudah tidak dengan gelar kerajaan, tetapi nama-nama orang desa atau rakyat biasa.
Namun 2 novel ini sama-sama menggunakan tokoh yang berasal dari etnis Jawa. Seperti yang disebutkan Mardianto (1996: 56) bahwa berdasarkan data yang diteliti, seluruh karya sastra itu menampilkan tokoh utama yang berasal dari etnis Jawa. Sedangkan di luar etnis Jawa, umumnya menjadi tokoh bawahan yang mendampingi tokoh utama.
Untuk penokohannya, kedua novel ini pun berbeda. Serat Rangsang Tuban dalam memperlihatkan karakter tokoh, sebagian besar menggunakan teknik uraian (analitik). Sedangkan novel Asmarani lebih banyak menggambarkan watak atau karakter tokoh lewat dialog antar tokoh. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Mardianto (1996: 74) bahwa karya sastra pada periode sebelum kemerdekaan, watak tokoh banyak ditampilkan dengan teknik uraian (analitik).
3.      Alur
Untuk alur, kedua novel ini menggunakan alur yang berbeda. Serat Rangsang Tuban menggunakan alur maju (lurus), sedangkan novel Asmarani menggunakan alur campuran. Sebagian besar novel pra-kemerdekaan memang menggunakan alur maju atau lurus, hal ini juga sudah disebutkan dalam buku Sarta Jawa Modern Periode 1920 sampai Perang Kemerdekaan. Sedangkan novel pada masa setelah kemerdekaan lebih variasi dalam penggunaan alurnya.
Selain alur yang berbeda, letak konflik dalam cerita pun sedikit berbeda. Dalam Serat Rangsang Tuban, konflik disajikan di awal cerita. Konflik-konflik sudah dimunculkan  sejak awal cerita. Sedangkan untuk Asmarani, konflik seperti belum ada di awal cerita. Konflik mulai dimunculkan saat pertengahan.
Hal yang melatar belakangi keadaan di atas adalah karena pada masa sebelum kemerdekaan, banyak karya sastra yang kurang variasi dalam model alur atau jalan ceritanya. Penulis terlihat belum berani dalam menulis ide pemikirannya karena keadaan yang masih tertekan dengan penjajah. Ini sangat berbeda dengan novel Asmarani yang sudah lebih berani dalam menuliskan konflik-konflik dalam cerita. Tidak hanya itu, novel ini pun juga sudah berani memberikan kritik-kritik terhadap keadaan masyarakat dan lingkungan sekitar.
4.      Latar (setting)
Untuk latar tempat, karena kedua novel ini merupakan karya sastra Jawa, maka tempat yang digunakan adalah daerah-daerah di Jawa. Yang berbeda hanya ruang lingkupnya. Untuk Serat Rangsang Tuban, ruang lingkup yang digunakan adalah kerajaan, karena masa itu adalah masa sebelum kemerdekaan yang pemerintahannya masih berbentuk kerajaan. Sedangkan untuk novel Asmarani, ruang lingkupnya adalah sebuah desa yang tentram dan damai karena sudah masa kemerdekaan, sehingga keadaan masyarakatnya juga sudah mulai berkembang.
            Untuk latar waktu, kedua novel ini sebagian besar sama-sama menggunakan waktu abstrak atau tidak menyebutkan dengan jelas kapan peristiwa itu terjadi. Kedua pengarang novel ini tidak menyebutkan waktu secara konkret, misalnya hari, tanggal ataupun tahun.
5.      Gaya bahasa
Gaya bahasa yang digunakan oleh 2 novel ini sangatlah berbeda. Hal ini dikarenakan rentang waktu kedua novel ini yang sangat jauh, sehingga perkembangan bahasanya pun sudah banyak. Pada novel Serat Rangsang Tuban, bahasa yang digunakan adalah ragam krama. Ragam krama yang digunakan pun masih sangat sulit dipahami oleh para pembaca yang masih dalam proses belajar. Bahasa yang digunakan pun bersifat lugas atau tidak banyak menggunakan bahasa yang berbunga-bunga (berlebih-lebihan).
Lain dengan novel Asmarani yang sudah menggunakan bahasa sehari-hari, yaitu ragam ngoko. Dalam novel ini juga terdapat unsur ngapak, sehingga sangat kental dengan kebudayaan daerah tertentu di Jawa. Hal ini menggambarkan bahwa pada masa sebelum kemerdekaan, para penulis belum bisa mengekspresikan karya sastranya dengan bebas karena masih dalam suasana dijajah. Sedangkan untuk masa setelah kemerdekaan, penulis lebih berani mengekspresikan karyanya dengan bahasa yang lebih indah. Tidak hanya itu, penulis juga lebih berani mengangkat budaya daerah tertentu, seperti bahasa khas yang digunakan masyarakat dan lain-lain.
6.      Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan novel Serat Rangsang Tuban dan Asmarani sama-sama menggunakan orang ketiga. Namun jenis orang ketiganya berbeda, yaitu Serat Rangsang Tuban menggunakan orang ketiga serba tahu dan novel Asmarani menggunakan orang ketiga terbatas. Pada Serat Rangsang Tuban, penulis bertindak seperti seorang dalang. Hal ini karena pada zaman dulu (sebelum kemerdekaan) masyarakat masih sangat kental dengan budaya pagelaran wayang, sehingga penulis pun masih bertindak seperti dalang.
Sedangkan untuk novel Asmarani, pengarang sudah tidak bertindak seperti sorang dalang. Cerita yang dibuat lebih berkembang dan lebih ekspresif. Hal ini karena novel Asmarani ditulis di masa yang sudah bebas dari tekanan penjajah, sehingga penulis lebih bebas berekspresi dalam menulis.
7.      Hal lain di luar unsur intrinsik
Hal lain yang terdapat persamaan dan perbedaan dari 2 novel ini adalah judul buku. Judul 2 novel ini sangat berbeda namun maknanya sama, yaitu menggambarkan sebuah nama. Yang Serat Rangsang Tuban menggunakan nama dari daerah tempat tinggal tokoh utama (kerajaan Tuban) sedangkan novel Asmarani menggunakan nama dari tokoh utama.
Persamaan lain dari kedua novel ini adalah sama-sama digunakan sebagai bacaan rakyat untuk hiburan. Namun, untuk novel pra-kemerdekaan hanya orang tertentu saja yang bisa menikmati. Hal ini karena rakyat belum bebas dari penjajah sehingga sulit untuk membaca buku. Masa itupun masih sedikit orang yang berpendidikan atau orang yang bisa membaca, sehingga sedikit yang bisa membaca buku. Berbeda dengan novel pasca-kemerdekaan yang rakyat secara bebas menikmatinya, masyarakat pun sudah banyak yang bisa membaca.
Secara garis besar, hal yang melatarbelakangi perbedaan kedua novel ini adalah keadaan masyarakatnya. Pada novel Serat Rangsang Tuban (novel pra-kemerdekaan) terlihat penulis kurang ekspresif dalam menuangkan tulisannya. Hal ini karena pada masa itu masih tertekan dengan para penjajah (kurang bebas berekspresi) dan hak asasi yang masih belum bebas serta belum dilindungi. Sedangkan untuk novel Asmarani (novel pasca-kemerdekaan) sudah lebih berkembang dan sangat ekspresif. Masa setelah kemerdekaan, penulis lebih bebas dan berani menyatakan diri (ekspresif) karena sudah tidak ada penjajah, sehingga tidak lagi tertekan dan juga hak asasi sudah dilindungi oleh pemerintah.
Daftar pustaka :

Yayasan Sastra Lestari. 2011. “Rangsang Tuban, Padmasusastra, 1912, #516”. http://www.sastra.org/kisah-cerita-dan-kronikal/104-novel/295-rangsang-tuban-padmasusastra-1912-516. diunduh tanggal 18-05-2015.

Brata, Suparto. 2013. Asmsrani. Yogyakarta: Elmatera.
Mardianto, Herry dkk. 1996. Sastra Jawa Modern Periode 1920 sampai Perang Kemerdekaan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

0 komentar:

Posting Komentar