UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP
SEJARAH SASTRA JAWA
MENGANALISIS NOVEL PRA DAN
PASCA KEMERDEKAAN
(Novel Serat Rangsang Tuban dan
Novel Asmarani)
Nama :
Annisak Maulani
NIM : 2601414061
Rombel : 3
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
SERAT RANGSANG TUBAN
Serat Rangsang Tuban yang ini
menceritakan tentang kehidupan dua orang pangeran dari Kerajaan Tuban, yang
bernama Pangeran Warihkusuma dan Pangeran Warsakusuma. Menurut penulisnya,
Ki Padmasusastra, karya ni merupakan petikan dari Serat
Wedhaparaya karya Empu Manehguna di Lamongan yang berisi kisah tentang Kerajaan
Tuban. Serat Rangsang Tuban ini diterbitkan pada tahun 1912 di
Surakarta.
UNSUR INTRINSIK
NOVEL :
1. Tema : perselisihan
saudara karena cinta
2. Tokoh dan
penokohan :
·
Tokoh utama dari serat ini adalah Raden Warihkusuma,
wataknya sabar, setia, dan pekerja keras. Ini tergambar saat ia terusir dari
kerajaan Tuban serta dari kerajaan Banyubiru, juga saat mengabdi kepada Prabu
Hertambang. Namun ia terlihat seperti tidak tanggung jawab atas kerajaannya
karena melarikan diri ketika diserang oleh Desa Sumbereja.
·
Raden Warsakusuma : iri hati dan berbuat jahat kepada
kakaknya karena menikah dengan seorang putri yang cantik.
·
Endang Wresti : wanita cantik yang sabar harus menikah
dengan adik dari suaminya.
·
Prabu Hertambang : baik karena menjadikan Warihkusuma
menjadi adipati dan menikahkan dengan anaknya.
·
Dewi Wayi : saat menjadi ratu, ia sangat adil, cerdik dan
pintar strategi perang.
·
Udakawimba : cerdas dan ahli dalam menata kota.
·
Ki Wulud : baik, suka membantu dan jujur, karena mau
merawat Rara Sendang seperti anaknya sendiri dan menolong Udakawimba saat
terusir dari Tuban.
·
Patih Toyamarta : penyayang dan baik, karena mau
memberikan tahtanya pada orang yang lebih berhak.
3. Alur/ Plot :
maju (alur lurus), karena menceritakan kejadian secara berurutan dari awal
sampai akhir.
4. Latar :
·
Tempat : Kerajaan Tuban, hutan, Kerajaan Banyubiru, Desa
Sumbereja, dan gunung tempat bertapa.
·
Waktu : pagi, siang, sore, dan malam hari.
·
Suasana : menyedihkan saat Warihkusuma dihianati adiknya
dan harus mengalami pengusiran 2 kali, menegangkan saat terjadi peperangan
antar kerajaan, dan menyenangkan saat semua keluarga bisa berkumpul kembali.
5. Sudut pandang :
orag ketiga serba tahu, karena terdapat bagian cerita yang menyiratkan bahwa
orang ketiga serba tau apa yang dilakukan tokoh.
6. Gaya bahasa : ragam krama.
7. Amanat :
·
Dengan saudara sendiri jangan berselisih dan bertindak
jahat.
·
Cinta tidak bisa dipaksa, maka jangan memaksa seseorang untuk
menikah (melakukan nikah paksa).
·
Jangan putus asa dan tetap sabar saat menghadapi masalah.
NOVEL ASMARANI
Novel Asmarani
ini menceritakan seorang guru yang mencintai muridnya. Ia pernah mencintai
muridnya 2 kali, pertama ia mencintai Paerah dan yang kedua adalah Asmarani
yang merupakan adik dari Paerah. Kemudian terjadi permasalahan dalam kisah
cinta guru tersebut dengan 2 muridnya yang merupakan saudara (kakak beradik).
Novel ini merupakan karya Suparto Brata yang diterbitkan pada tahun 2013.
Cerita ini pun pernah ditulis di dalam majalah Jaya Baya 1964 dalam bentuk
cerita bersambung.
UNSUR
INTRINSIK NOVEL :
1. Tema : Kisah cinta yang tidak biasa
2. Tokoh dan
Penokohan :
·
Asmarani :
-
pemberani : terlihat saat memanjat pohon dan saat meminta
majalah pada gurunya.
-
Nakal : saat melempar buah duwet ke muka Tarwi, mencuri
makanan yang akan diberikan untuk bapaknya, dan lain-lain.
-
pintar : menjadi orang sukses ketika kembali ke desa.
-
Suka bercanda dan mudah bergaul : saat menemui tamu utusan
ibunya, dan bercanda saat bersama teman-temannya.
·
Marsan :
-
Pintar : karena seorang guru.
-
Sopan dan ramah : terlihat saat bertamu ke rumah pak
Nataran ( bapaknya Asmarani).
-
Materialistis : terlihat saat tidak jadi menikahi
Asmarani saat tahu kalau Asmarani bukan anak dari seorang juragan sawah.
·
Pak Nataran :
bijaksana, tidak banyak bicara dan tanggung jawab. Ini terlihat saat mau
merawat Asmarani yang bukan anak kandungnya.
·
Bu Nataran :
mudah marah dan ringan tangan. Ini terlihat saat menghadapi Asmarani yang masih
nakal.
·
Tarwi :
mudah bergaul, tidak mengingkari janji dengan Asmarani, pintar, sopan dan
mandiri.
·
Paerah :
mudah marah, judes dan sombong.
·
Kerta :
bijaksana, ramah, dan rajin bekerja.
·
Mardinem :
penakut saat diajak Asmarani, pemalu, dan polos.
·
Kadinah :
suka bercanda, dan baik.
·
Saptadi :
tidak bartanggungjawab dan tidak setiya karena selingkuh dengan perempuan lain.
·
Ibune Saptadi :
bijaksana dan sabar.
·
Ibu Juwita :
sopan, ramah, dan berjuang untuk keluarganya.
·
Mas Parto :
sopan, mudah berteman, suka bercanda, dan rajin bekerja.
3. Alur / plot : maju mundur (campuran), karena
terdapat bagian yang menceritakat kisah masa lalu dari si tokoh utama (asal
usul Asmarani).
4. Latar (setting) :
·
Tempat :
ruang kelas, rumahnya Asmarani, pekarangan di samping rumah , rumahnya Tarwi,
Yogyakarta, kantor kelurahan, dan di pendapa.
·
Waktu :
pagi, siang, sore, dan malam.
·
Suasana :
senang, sedih, mengharukan, dan juga lucu saat Asmarani melakukan hal-hal yang
aneh.
5. Sudut pandang : orang ketiga terbatas.
6. Gaya bahasa : jawa ngoko (dialek)
7. Amanat :
·
Jangan bersikap tidak baik kepada saudara sendiri apalagi
berselisih .
·
Jangan memilih pasangan dengan hanya melihat kekayaannya.
·
Seorang anak jangan suka membuat orangtua kecewa dan
marah.
·
Jangan mudah putus asa.
MENGKOMPARASIKAN
NOVEL SERAT RANGSANG TUBAN DAN NOVEL ASMARANI
Dari unsur-unsur intrinsik novel di atas, dapat diambil
beberapa perbedaan dan persamaan dari kedua novel tersebut. Berikut ini adalah
pembahasan mengenai perbedaan dan persamaan beserta hal-hal yang
melatarbelakanginya.
1.
Tema
Dari unsur tema, sekilas tema dari novel Serat Rangsang
Tuban dan Asmarani ini tidaklah sama. Namun jika diperhatikan secara mendalam,
kedua novel ini mempunyai unsur pembangun tema yang mirip. Tema kedua novel ini
sama-sama berkaitan dengan masalah perkawinan. Dalam Serat Rangsang Tuban, tema
yang diambil adalah perselisihan antara 2 saudara yang dilatarbelakangi oleh
masalah perkawinan. Dua saudara itu, yaitu Pangeran Warihkusuma dan Warsakusuma
yang merupakan seorang pangeran dari kerajaan Tuban. Awal perselisihan tersebut
adalah saat Pangeran Warsakusuma merebut istri kakaknya dan menikahinya secara
paksa. Sedangkan dalam novel Asmarani, tema yang diambil adalah kisah percintaan
yang tidak biasa. Kisah percintaan itu antara seorang murid dengan gurunya.
Guru tersebut menyukai 2 muridnya yang merupakan kakak beradik. Di dalam novel
ini juga terdapat unsur perselisihan antara 2 saudara, yaitu Asmarani dengan
kakaknya (Paerah). Walaupun perselisihan tersebut tidak sebesar seperti dalam
Serat Rangsan Tuban.
Kedua
novel ini menceritakan kisah percintaan yang dialami oleh 2 saudara. Kisah
percintaan yang sama-sama diwarnai perselisihan batin dan fisik antara 2
saudara tersebut. Tema yang berkaitan dengan masalah perkawinan tersebut termasuk
tema tradisional. Widati (1986: 33) dalam Mardianto (1996: 23) menjelaskan
bahwa tema tradisional pada umumnya mengemukakan masalah yang berkaitan dengan
sistem niali budaya yang berlaku dan berakar dalam masyarakat Jawa. Tema
tradisional itu salah satunya adalah tema yang berkaitan dengan masalah
perkawinan, seperti dalam 2 novel ini.
2.
Tokoh dan Penokohan
Jika dilihat dari segi kebangsaan, tokoh yang dihadirkan
dalam Serat Rangsang Tuban adalah tokoh entis Jawa yang mempunyai pangkat
tinggi (yang terhormat). Tokoh-tokoh tersebut yaitu keluarga kerajaan Tuban,
kerajaan Banyubiru, dan lain-lain. Sedangkan tokoh-tokoh dalam novel Asmarani
berasal dari golongan menengah ke bawah, yaitu keluarga petani.
Latar belakang dari perbadaan ini adalah keadaan
masyarkatnya pada jaman tersebut. Pada jaman sebelum kemerdekaan, keadaan
masyarakatnya masih masyarakat kerajaan. Hal ini membuat cerita yang disajikan
adalah cerita dari lingkungan kerajaan yang nama-nama tokohnya juga menggunakan
gelar-gelar kerajaan, seperti pangeran, patih, dan lain-lain. Sedangkan dalam
Asmarani, lingkungannya sudah tidak berbentuk kerajaan, lingkungannya sudah
modern dan lebih maju. Hal ini karena kehidupan masyarakat yang sudah merdeka.
Nama-nama yang digunakan pun sudah tidak dengan gelar kerajaan, tetapi
nama-nama orang desa atau rakyat biasa.
Namun 2 novel ini sama-sama menggunakan tokoh yang
berasal dari etnis Jawa. Seperti yang disebutkan Mardianto (1996: 56) bahwa
berdasarkan data yang diteliti, seluruh karya sastra itu menampilkan tokoh
utama yang berasal dari etnis Jawa. Sedangkan di luar etnis Jawa, umumnya
menjadi tokoh bawahan yang mendampingi tokoh utama.
Untuk penokohannya, kedua novel ini pun berbeda. Serat
Rangsang Tuban dalam memperlihatkan karakter tokoh, sebagian besar menggunakan
teknik uraian (analitik). Sedangkan novel Asmarani lebih banyak menggambarkan
watak atau karakter tokoh lewat dialog antar tokoh. Hal ini juga diperkuat
dengan pernyataan Mardianto (1996: 74) bahwa karya sastra pada periode sebelum
kemerdekaan, watak tokoh banyak ditampilkan dengan teknik uraian (analitik).
3.
Alur
Untuk alur, kedua novel ini menggunakan alur yang berbeda.
Serat Rangsang Tuban menggunakan alur maju (lurus), sedangkan novel Asmarani
menggunakan alur campuran. Sebagian besar novel pra-kemerdekaan memang
menggunakan alur maju atau lurus, hal ini juga sudah disebutkan dalam buku Sarta Jawa Modern Periode 1920 sampai Perang
Kemerdekaan. Sedangkan novel pada masa setelah kemerdekaan lebih variasi
dalam penggunaan alurnya.
Selain alur yang berbeda, letak konflik dalam cerita pun
sedikit berbeda. Dalam Serat Rangsang Tuban, konflik disajikan di awal cerita.
Konflik-konflik sudah dimunculkan sejak
awal cerita. Sedangkan untuk Asmarani, konflik seperti belum ada di awal
cerita. Konflik mulai dimunculkan saat pertengahan.
Hal yang melatar belakangi keadaan di atas adalah karena
pada masa sebelum kemerdekaan, banyak karya sastra yang kurang variasi dalam
model alur atau jalan ceritanya. Penulis terlihat belum berani dalam menulis
ide pemikirannya karena keadaan yang masih tertekan dengan penjajah. Ini sangat
berbeda dengan novel Asmarani yang sudah lebih berani dalam menuliskan
konflik-konflik dalam cerita. Tidak hanya itu, novel ini pun juga sudah berani
memberikan kritik-kritik terhadap keadaan masyarakat dan lingkungan sekitar.
4.
Latar (setting)
Untuk latar tempat, karena kedua novel ini merupakan
karya sastra Jawa, maka tempat yang digunakan adalah daerah-daerah di Jawa.
Yang berbeda hanya ruang lingkupnya. Untuk Serat Rangsang Tuban, ruang lingkup
yang digunakan adalah kerajaan, karena masa itu adalah masa sebelum kemerdekaan
yang pemerintahannya masih berbentuk kerajaan. Sedangkan untuk novel Asmarani,
ruang lingkupnya adalah sebuah desa yang tentram dan damai karena sudah masa
kemerdekaan, sehingga keadaan masyarakatnya juga sudah mulai berkembang.
Untuk
latar waktu, kedua novel ini sebagian besar sama-sama menggunakan waktu abstrak
atau tidak menyebutkan dengan jelas kapan peristiwa itu terjadi. Kedua
pengarang novel ini tidak menyebutkan waktu secara konkret, misalnya hari,
tanggal ataupun tahun.
5.
Gaya bahasa
Gaya bahasa yang digunakan oleh 2 novel ini sangatlah berbeda.
Hal ini dikarenakan rentang waktu kedua novel ini yang sangat jauh, sehingga
perkembangan bahasanya pun sudah banyak. Pada novel Serat Rangsang Tuban,
bahasa yang digunakan adalah ragam krama. Ragam krama yang digunakan pun masih
sangat sulit dipahami oleh para pembaca yang masih dalam proses belajar. Bahasa
yang digunakan pun bersifat lugas atau tidak banyak menggunakan bahasa yang
berbunga-bunga (berlebih-lebihan).
Lain dengan novel Asmarani yang sudah menggunakan bahasa
sehari-hari, yaitu ragam ngoko. Dalam novel ini juga terdapat unsur ngapak,
sehingga sangat kental dengan kebudayaan daerah tertentu di Jawa. Hal ini
menggambarkan bahwa pada masa sebelum kemerdekaan, para penulis belum bisa
mengekspresikan karya sastranya dengan bebas karena masih dalam suasana
dijajah. Sedangkan untuk masa setelah kemerdekaan, penulis lebih berani
mengekspresikan karyanya dengan bahasa yang lebih indah. Tidak hanya itu,
penulis juga lebih berani mengangkat budaya daerah tertentu, seperti bahasa
khas yang digunakan masyarakat dan lain-lain.
6.
Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan novel Serat Rangsang Tuban
dan Asmarani sama-sama menggunakan orang ketiga. Namun jenis orang ketiganya
berbeda, yaitu Serat Rangsang Tuban menggunakan orang ketiga serba tahu dan
novel Asmarani menggunakan orang ketiga terbatas. Pada Serat Rangsang Tuban,
penulis bertindak seperti seorang dalang. Hal ini karena pada zaman dulu
(sebelum kemerdekaan) masyarakat masih sangat kental dengan budaya pagelaran
wayang, sehingga penulis pun masih bertindak seperti dalang.
Sedangkan untuk novel Asmarani, pengarang sudah tidak
bertindak seperti sorang dalang. Cerita yang dibuat lebih berkembang dan lebih
ekspresif. Hal ini karena novel Asmarani ditulis di masa yang sudah bebas dari
tekanan penjajah, sehingga penulis lebih bebas berekspresi dalam menulis.
7.
Hal lain di luar unsur intrinsik
Hal lain yang terdapat persamaan dan perbedaan dari 2
novel ini adalah judul buku. Judul 2 novel ini sangat berbeda namun maknanya
sama, yaitu menggambarkan sebuah nama. Yang Serat Rangsang Tuban menggunakan
nama dari daerah tempat tinggal tokoh utama (kerajaan Tuban) sedangkan novel
Asmarani menggunakan nama dari tokoh utama.
Persamaan lain dari kedua novel ini adalah sama-sama
digunakan sebagai bacaan rakyat untuk hiburan. Namun, untuk novel
pra-kemerdekaan hanya orang tertentu saja yang bisa menikmati. Hal ini karena
rakyat belum bebas dari penjajah sehingga sulit untuk membaca buku. Masa itupun
masih sedikit orang yang berpendidikan atau orang yang bisa membaca, sehingga
sedikit yang bisa membaca buku. Berbeda dengan novel pasca-kemerdekaan yang
rakyat secara bebas menikmatinya, masyarakat pun sudah banyak yang bisa
membaca.
Secara garis besar, hal yang melatarbelakangi perbedaan
kedua novel ini adalah keadaan masyarakatnya. Pada novel Serat Rangsang Tuban
(novel pra-kemerdekaan) terlihat penulis kurang ekspresif dalam menuangkan
tulisannya. Hal ini karena pada masa itu masih tertekan dengan para penjajah
(kurang bebas berekspresi) dan hak asasi yang masih belum bebas serta belum
dilindungi. Sedangkan untuk novel Asmarani (novel pasca-kemerdekaan) sudah
lebih berkembang dan sangat ekspresif. Masa setelah kemerdekaan, penulis lebih
bebas dan berani menyatakan diri (ekspresif) karena sudah tidak ada penjajah,
sehingga tidak lagi tertekan dan juga hak asasi sudah dilindungi oleh
pemerintah.
Daftar pustaka
:
Yayasan Sastra Lestari. 2011. “Rangsang Tuban, Padmasusastra, 1912, #516”. http://www.sastra.org/kisah-cerita-dan-kronikal/104-novel/295-rangsang-tuban-padmasusastra-1912-516. diunduh tanggal 18-05-2015.
Brata, Suparto. 2013. Asmsrani.
Yogyakarta: Elmatera.
Mardianto, Herry dkk. 1996. Sastra Jawa Modern Periode 1920 sampai Perang Kemerdekaan. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
0 komentar:
Posting Komentar