artikel tentang dongeng

Selasa, 10 November 2015

| | |


PENGARUH DONGENG TERHADAP  PERKEMBANGAN BAHASA ANAK
oleh Annisak Maulani

Dongeng merupakan cerita yang tidak benar-benar terjadi dan sudah menjadi budaya di masyarakat secara turun temurun. Berdongeng dilakukan dengan penekanan pada suara, gerak tubuh, dan bisa dengan bantuan peralatan tertentu. Dongeng mempunyai beberapa jenis, yaitu dongeng lucu, fabel (cerita binatang), parabel (tokoh khayalan), legenda (asal-usul suatu daerah), sage (dongeng sejarah), dan mite (kepercayaan masyarakat yang tidak terbukti kebenarannya).
Kegiatan mendongeng sering dilakukan oleh para orangtua disaat menjelang tidur ataupun saat waktu senggang bersama anak-anaknya. Dengan berdongeng, para orangtua akan lebih dekat dengan anak-anaknya. Anak-anak pun akan mengenal cerita-cerita rakyat di Nusantara ini. Tidak hanya sekedar mengenal cerita rakyat, namun juga mampu menumbuhkan imajinasi serta inspirasi kepada anak.
Kegiatan mendongeng yang dilakukan oleh orangtua atau pendongeng kepada anak-anak bisa menjadi media komunikasi yang menarik. Menarik karena para pendongeng biasanya akan menggunakan bahasa yang lucu dibantu dengan alat peraga yang dibuat menarik. Selain itu, pendongeng juga akan menggunakan penekanan suara dan gerak tubuh (gesture) untuk menghidupkan cerita yang disampaikan. Jika sudah menarik para anak-anak untuk mendengarkan dongeng tersebut, maka pelajaran ataupun nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerita dongeng tersebut akan lebih mudah ditangkap oleh anak-anak.
Namun kini dongeng seperti tak lagi dikenal oleh anak-anak. Para orangtua pun sedikit yang masih membudayakan dongeng kepada anak-anaknya. Hal ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor tersebut adalah banyaknya mainan atau media hiburan yang lebih modern dan lebih menarik minat anak-anak. Media atau alat-alat hiburan tersebut misalnya seperti TV, VCD/DVD, PS (Playstation), dan games atau permainan-permainan yang terdapat dalam gadget (handphone, tablet, ipad, dan sebagainya).
Media atau alat-alat hiburan yang modern bukan satu-satunya alasan mulai punahnya dongeng. Penyebab lain ialah kurangnya keperdulian orangtua terhadap kegiatan mendongeng kepada anak. Para orangtua banyak yang sudah tidak lagi mendongengkan cerita-cerita rakyat kepada anaknya. Padahal dulu mendongeng sudah seperti budaya yang selalu dilakukan orangtua kepada anaknya sebelum tidur. Mereka menceritakan cerita-cerita rakyat dari Nusantara dengan bahasa mereka sendiri yang akan mudah dipahami oleh anaknya. Walaupun cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat yang fiktif, namun mengandung banyak pelajaran yang dapat diambil dari cerita tersebut.
Adapun untuk perkembangan bahasa anak, dapat dilihat dari perolehan kosa kata dari waktu kewaktu. Anak-anak cenderung cepat dalam menangkap kosa kata, sehingga butuh cara yang baik untuk mengajarkan bahasa kepada anak. Dengan dongeng inilah orangtua mampu mendukung perkembangan bahasa anak dengan baik. Hal ini karena kebanyakan dongeng berisi cerita yang positif dengan bahasa yang baik, sehingga anak dapat menyerap kata-kata atau kalimat yang baik pula.
Setiap dongeng tersebut biasanya juga menggunakan variasi bahasa yang sederhana dan  mudah untuk dipahami oleh anak-anak yang masih dalam proses pengenalan bahasa. Jika seorang anak banyak mendengarkan dongeng, maka kosa kata yang didapat akan terus bertambah. Anak-anak akan melahirkan fantasi sendiri dari sebuah dongeng tersebut, sehingga lama kelamaan akan mampu menceritakan kembali cerita tersebut. Secara tidak langsung cerita-cerita yang disampaikan dengan cara mendongeng akan menyumbang banyak kosa kata yang baru kepada anak.
Jika seorang anak sudah mampu menangkap banyak kosa kata, maka anak akan lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain. Ramli (2010) mengatakan bahwa bahasa merupakan alat yang penting untuk berkomunikasi bagi setiap orang. Seorang anak pun akan butuh mengembangkan kemampuan bargaul (social skill) dengan orang lain yang dimulai dengan penguasaan kemampuan berbahasa. Anak akan mengekspresikan pikirannya dengan bahasa, sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh anak tersebut.
Lerner (1982) dalam Sudono (2000) menyatakan bahwa dasar utama perkembangan bahasa adalah melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang kaya. Pengalaman tersebut akan menunjang faktor bahasa yang lain, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Mendengar dan membaca merupakan keterampilan berbahasa reseptif, sedangkan berbicara dan menulis adalah kemampuan berbahasa ekspresif.
Dari keterangan di atas, dapat dijelaskan bahwa seorang anak yang terus-menerus mendengarkan atau membaca dongeng akan menambah suplai kosa kata yang banyak. Jika kosa kata yang didapat terus bertambah dan anak semakin mengerti makna dari kosa kata tersebut, maka anak akan pandai mengekspresikan perasaannya atau keinginannya dengan cara berbicara atau menuliskannya. Hal ini menjadikan dongeng sebagai media yang baik untuk menumbuhkan kemampuan berbahasa dan komunikasi pada anak.
Banyak hal yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak-anak. Ramli (2010) menyebutkan faktor-faktor yang membuat anak cepat menangkap kosa kata baru, yaitu sebagai berikut.
Pertama, anak dalam lingkungan positif dan bebas dari tekanan. Dongeng pun disajikan dengan cara yang santai dan tidak ada unsur yang menekan anak-anak, sehingga dongeng menjadi salah satu cara yang baik untuk mengajarkan bahasa kepada anak. Berdongeng juga merupakan kegiatan yang mampu menciptakan suasana positif, karena orang tua atau pendongeng akan menyampaikankan cerita dengan bahasa yang lembut dan menarik. Selain itu, cerita yang biasa didongengkan kepada anak-anak merupakan cerita yang mengandung nilai-nilai positif.
Kedua, menunjukan sikap dan minat yang tulus pada anak. Maksudnya yaitu dalam mengajarkan bahasa kepada anak, pengajar harus bersikap sungguh-sungguh, tulus, telaten dan sabar. Menunjukkan perhatiannya terhadap proses perkembangan bahasa dari si anak tersebut.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mendongeng, karena dengan mendongeng akan membuat anak merasa lebih nyaman dan menggambarkan keperdulian orangtua atau pendongeng kepada anak. Dengan mendongeng, orangtua bisa mencurahkan ketulusan dalam bercerita atau mengajarkan sesuatu, serta memberikan respon yang baik kepada anak yang ingin tahu tentang hal-hal baru.
Ketiga, menyampaikan pesan verbal diikuti dengan pesan non-verbal. Hal ini pun juga bisa menggunakan cara berdongeng. Pesan verba merupakan pesan dari penutur atau penulis kepada pendengar atau pembaca secara tertulis atau lisan. Sedangkan untuk pesan non-verbal merupakan pesan yang berupa ekspresi dari penutur berupa gerakan, mimik muka, dan intonasi yang sesuai. Orangtua atau pendongeng ditutut harus ekspresif sesuai dengan ucapan di dalam cerita dongeng tersebut. Harus ekspresif karena untuk menghidupkan karakter atau suasana dalam cerita dongeng itu sendiri.
Keempat, melibatkan anak dalam komunikasi. Orang-orang dewasa biasanya enggan melibatkan anak-anak untuk berbicara atau mengungkapkan pendapat atau gagasan-gagasannya. Hal ini sebenarnya kurang baik untuk perkembangan bahasa anak, karena anak akan merasa tidak dianggap dan tidak dibutuhkan. Jika seperti ini anak akan memilih diam dan tidak mau mengatakan pendapat-pendapatnya lagi.
Sebagai orangtua harus mampu membangun komunikasi yang baik dengan anak. Orangtua jangan mengacuhkan pendapat dari anak-anaknya, namun sebaiknya memberikan respon yang baik terhadap pendapat anak tersebut. Begitu juga dengan cara mendongengkan cerita kepada anak.
Dalam proses berdongeng, orangtua atau pendongeng tidak hanya sekedar bercerita, namun dongeng juga digunakan sebagai bentuk respon dari orangtua atau pendongeng kepada anak. Misalnya saat berdongeng anak bertanya, terheran-heran ataupun berkomentar tentang sesuatu yang berhubungan dengan dongeng tersebut, kemudian orangtua atau pendongeng menjelasakannya dengan melanjutkan dongeng tersebut ataupun dengan mengaitkan dengan cerita lain.
Syamsu Yusuf (2007: 119) dalam Ramli (2010) menjelaskan bahwa perkembangan bahasa berkaitan erat dengan perkembangan berpikir anak. Perkembangan berpikir anak mulai dari usia 1,6 –2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat yang terdiri dari dua atau tiga kata. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam berbahasa anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai tugas pokok perkembangan bahasa.
Adapun tugas tersebut adalah pemahaman terhadap perkataan orang lain, pengembangan perbendaharaan kata, penyusunan kata menjadi kalimat, dan ucapan. Kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain.
Tugas pokok perkembangan bahasa di atas juga diperkuat dengan peranan bercerita menurut Tampubolon (1993:50). Tampubolon menyebutkan bahwa bercerita kepada anak mempunyai peranan penting yang tidak hanya menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca, tetapi juga berperan dalam mengembangkan bahasa dan pikiran anak.
Ada hal-hal yang harus diperhatikan juga dalam berdongeng, yaitu isi cerita yang diminati anak dan tingkat usia. Cerita dongeng yang disampaikan harus berisi tentang dunia kehidupan anak yang penuh suka cita dan memiliki unsur gembira, lucu, dan menarik. Biasanya anak-anak akan lebih senang dengan cerita yang berhubungan dengan binatang, robot, boneka, dan lain-lain. Pendongeng pun harus mengerti tentang kebutuhan dan kemampuan anak untuk mencerna sebuah cerita dongeng. setiap anak yang berbeda usia pasti berbeda dalam memahami sebuah cerita dongeng.
Berikut adalah ciri pokok perkembangan bahasa anak pada setiap usia tertentu oleh Tarigan (1995) yang dapat didukung dengan menggunakan dongeng. Pertama, usia 2 – 3 tahun, anak-anak belajar mengenali dan menyebut nama-nama benda dan tindakan dalam gambar. Hal tersebut bisa dilakukan dengan melihat dari buku-buku dongeng. Orangtua dalam mendongeng disertai dengan memperlihatkan gambar-gambar dalam buku dongeng tersebut.
Kedua, usia 3 – 4 tahun, bahasa digunakan sebagai alat atau sarana membantu anak-anak untuk menentukan atau memahami dunia mereka. Dengan membaca atau membacakan buku-buku cerita dongeng bergambar akan memberi kesempatan kepada anak untuk mencari atau menemukan tokoh atau sesuatu yang disukai. Selain itu, dengan buku cerita yang bergambar akan meningkatkan serta mengembangkan pemakaian kosa kata deskriptif.
Ketiga, usia 4 – 5 tahun, bahasa anak-anak semakin abstrak; mereka menghasilkan kalimat-kalimat yang baik dan benar secara gramatikal. Anak-anak juga akan mulai menyenangi buku cerita yang menggunakan plot agak rumit. Mereka dapat menceritakan kembali cerita-serita atau dongeng yang lebih panjang serta menceritakan isi buku bergambar tanpa kata-kata.
Keempat, usia 5 – 6 tahun, anak-anak kebanyakan sudah menggunakan kalimat-kalimat kompleks dan mereka mulai ingin mengubah bahasa lisan menjadi bahasa tulisan. Setelah mendengarkan cerita dongeng, anak-anak diberi kesempatan untuk memerankan cerita mereka sendiri dan menceritakan kembali cerita yang didengar dengan bahasa mereka sendiri.
Kelima, usia 6 – 8 tahun, perkembangan bahasa anak berlangsung dan meningkat terus; banyak kata-kata baru masuk ke dalam perbendaharaan kata atau kosa kata mereka. Kebanyakan anak telah menggunakan kalimat-kalimat kompleks dengan klausa-klausa. Hal tersebut bisa dibantu dengan membaca atau membacakan cerita-cerita yang memperlihatkan model atau contoh nyata bagi perkembangan dan peningkatan struktur bahasa.
Keenam, usia 8 – 10, anak-anak mulai meghubungkan konsep-konsep dengan ide-ide atau gagasan-gagasan umum. Menggunakan model-model tertulis dan lisan untuk membantu anak-anak menguasai keterampilan-keterampilan berbahasa tersebut. Dengan diskusi atau pembicaraan tentang cerita-cerita tersebut akan memberikan banyak kesempatan bagi pengembangan dan peningkatan mutu kalimat-kalimat lisan mereka.
Ketujuh, usia 10 – 12, mengandung implikasi mengembangkan serta meningkatkan mutu bahasa lisan dan kegiatan-kegiatan berbahasa tulis sehingga anak-anak dapat menggunakan struktur-struktur kalimat yang lebih kompleks atau lebih rumit (Norton, 1988 : 8 – 10). Hal tersebut juga menuntut para pendongeng terutama orangtua untuk jeli dan bijaksana dalam memilih buku-buku cerita atau sastra yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan bahasa anak.
Dari penjelasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang pengaruh dongeng terhadap perkembangan bahasa anak. Berdongeng akan membantu anak dalam proses pengembangan bahasanya. Hal ini karena dongeng disajikan dalam suasana yang santai dan menarik, serta menggunakan bahasa yang sederhana yang akan lebih mudah dipahami oleh anak-anak.
Jika bahasa anak terus berkembang, maka komunikasi anak dengan lingkungan sekitarnya dan dalam bergaul dengan orang lain akan lebih mudah. Hal ini karena saat orangtua mendongengkan cerita, anak akan melakukan aktivitas mendengarkan, berbicara (bertanya atau berkomentar tentang sesuatu yang mengherankan), serta ikut melihat gambar atau membaca tulisan jika sudah bisa membaca.
Anak yang banyak mendengarkan dongeng akan semakin banyak kosa kata yang didapat oleh anak atau perbendaharaan kata akan terus meningkat. Jika demikian, maka semakin banyak anak akan dapat menyusun kosa kata tersebut menjadi satuan gramatikal yang lebih tinggi, misalnya klausa atau kalimat. Anak pun akan mampu menyusun bahasa lisan menjadi bahas tulisan.

DAFTAR PUSTAKA
Ramli. 2010. “Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini”. http://ramlimpd.blogspot.com/2010/10/penanaman-konsep-bilangan-pada-anak.html. (Diunduh tanggal 6 Mei 2015).
Sudono, Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan. Jakarta: Grasindo.
Tampubolon. 1993. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca pada Anak. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1995.  Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.

0 komentar:

Posting Komentar