PENGARUH DONGENG TERHADAP PERKEMBANGAN BAHASA ANAK
oleh Annisak
Maulani
Dongeng merupakan
cerita yang tidak benar-benar terjadi dan sudah menjadi budaya di masyarakat secara
turun temurun. Berdongeng dilakukan dengan penekanan pada suara, gerak tubuh,
dan bisa dengan bantuan peralatan tertentu. Dongeng mempunyai beberapa jenis,
yaitu dongeng lucu, fabel (cerita binatang), parabel (tokoh khayalan), legenda
(asal-usul suatu daerah), sage (dongeng sejarah), dan mite (kepercayaan
masyarakat yang tidak terbukti kebenarannya).
Kegiatan mendongeng
sering dilakukan oleh para orangtua disaat menjelang tidur ataupun saat waktu
senggang bersama anak-anaknya. Dengan berdongeng, para orangtua akan lebih
dekat dengan anak-anaknya. Anak-anak pun akan mengenal cerita-cerita rakyat di
Nusantara ini. Tidak hanya sekedar mengenal cerita rakyat, namun juga mampu
menumbuhkan imajinasi serta inspirasi kepada anak.
Kegiatan mendongeng
yang dilakukan oleh orangtua atau pendongeng kepada anak-anak bisa menjadi
media komunikasi yang menarik. Menarik karena para pendongeng biasanya akan
menggunakan bahasa yang lucu dibantu dengan alat peraga yang dibuat menarik.
Selain itu, pendongeng juga akan menggunakan penekanan suara dan gerak tubuh (gesture) untuk menghidupkan cerita yang
disampaikan. Jika sudah menarik para anak-anak untuk mendengarkan dongeng
tersebut, maka pelajaran ataupun nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam
cerita dongeng tersebut akan lebih mudah ditangkap oleh anak-anak.
Namun kini dongeng
seperti tak lagi dikenal oleh anak-anak. Para orangtua pun sedikit yang masih
membudayakan dongeng kepada anak-anaknya. Hal ini banyak faktor yang
mempengaruhinya. Salah satu faktor tersebut adalah banyaknya mainan atau media
hiburan yang lebih modern dan lebih menarik minat anak-anak. Media atau
alat-alat hiburan tersebut misalnya seperti TV, VCD/DVD, PS (Playstation), dan games atau permainan-permainan yang terdapat dalam gadget (handphone, tablet, ipad, dan sebagainya).
Media atau
alat-alat hiburan yang modern bukan satu-satunya alasan mulai punahnya dongeng.
Penyebab lain ialah kurangnya keperdulian orangtua terhadap kegiatan mendongeng
kepada anak. Para orangtua banyak yang sudah tidak lagi mendongengkan
cerita-cerita rakyat kepada anaknya. Padahal dulu mendongeng sudah seperti
budaya yang selalu dilakukan orangtua kepada anaknya sebelum tidur. Mereka
menceritakan cerita-cerita rakyat dari Nusantara dengan bahasa mereka sendiri
yang akan mudah dipahami oleh anaknya. Walaupun cerita yang disampaikan adalah
cerita rakyat yang fiktif, namun mengandung banyak pelajaran yang dapat diambil
dari cerita tersebut.
Adapun untuk
perkembangan bahasa anak, dapat dilihat dari perolehan kosa kata dari waktu
kewaktu. Anak-anak cenderung cepat dalam menangkap kosa kata, sehingga butuh
cara yang baik untuk mengajarkan bahasa kepada anak. Dengan dongeng inilah
orangtua mampu mendukung perkembangan bahasa anak dengan baik. Hal ini karena
kebanyakan dongeng berisi cerita yang positif dengan bahasa yang baik, sehingga
anak dapat menyerap kata-kata atau kalimat yang baik pula.
Setiap dongeng
tersebut biasanya juga menggunakan variasi bahasa yang sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anak-anak yang masih
dalam proses pengenalan bahasa. Jika seorang anak banyak mendengarkan dongeng,
maka kosa kata yang didapat akan terus bertambah. Anak-anak akan melahirkan
fantasi sendiri dari sebuah dongeng tersebut, sehingga lama kelamaan akan mampu
menceritakan kembali cerita tersebut. Secara tidak langsung cerita-cerita yang
disampaikan dengan cara mendongeng akan menyumbang banyak kosa kata yang baru
kepada anak.
Jika seorang anak sudah mampu menangkap banyak kosa kata,
maka anak akan lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain. Ramli (2010)
mengatakan bahwa bahasa merupakan alat yang penting untuk berkomunikasi bagi
setiap orang. Seorang anak pun akan butuh mengembangkan kemampuan bargaul (social skill)
dengan orang lain yang dimulai dengan penguasaan kemampuan berbahasa. Anak akan mengekspresikan pikirannya
dengan bahasa, sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan atau
dirasakan oleh anak tersebut.
Lerner (1982) dalam Sudono (2000) menyatakan bahwa dasar
utama perkembangan bahasa adalah melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi
yang kaya. Pengalaman tersebut akan menunjang faktor bahasa yang lain, yaitu
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Mendengar dan membaca merupakan
keterampilan berbahasa reseptif, sedangkan berbicara dan menulis adalah
kemampuan berbahasa ekspresif.
Dari keterangan di atas, dapat dijelaskan bahwa seorang
anak yang terus-menerus mendengarkan atau membaca dongeng akan menambah suplai
kosa kata yang banyak. Jika kosa kata yang didapat terus bertambah dan anak
semakin mengerti makna dari kosa kata tersebut, maka anak akan pandai
mengekspresikan perasaannya atau keinginannya dengan cara berbicara atau
menuliskannya. Hal ini menjadikan dongeng sebagai media yang baik untuk
menumbuhkan kemampuan berbahasa dan komunikasi pada anak.
Banyak hal yang
mempengaruhi perkembangan bahasa anak-anak. Ramli (2010) menyebutkan faktor-faktor
yang membuat anak cepat menangkap kosa kata baru, yaitu sebagai berikut.
Pertama, anak dalam
lingkungan positif dan bebas dari tekanan. Dongeng pun disajikan dengan cara yang
santai dan tidak ada unsur yang menekan anak-anak, sehingga dongeng menjadi salah
satu cara yang baik untuk mengajarkan bahasa kepada anak. Berdongeng juga
merupakan kegiatan yang mampu menciptakan suasana positif, karena orang tua
atau pendongeng akan menyampaikankan cerita dengan bahasa yang lembut dan
menarik. Selain itu, cerita yang biasa didongengkan kepada anak-anak merupakan
cerita yang mengandung nilai-nilai positif.
Kedua, menunjukan sikap dan minat yang tulus
pada anak. Maksudnya yaitu dalam mengajarkan bahasa kepada anak, pengajar harus
bersikap sungguh-sungguh, tulus, telaten dan sabar. Menunjukkan perhatiannya
terhadap proses perkembangan bahasa dari si anak tersebut.
Hal tersebut
bisa dilakukan dengan cara mendongeng, karena dengan mendongeng akan membuat
anak merasa lebih nyaman dan menggambarkan keperdulian orangtua atau pendongeng
kepada anak. Dengan mendongeng, orangtua bisa mencurahkan ketulusan dalam
bercerita atau mengajarkan sesuatu, serta memberikan respon yang baik kepada
anak yang ingin tahu tentang hal-hal baru.
Ketiga, menyampaikan
pesan verbal diikuti dengan pesan non-verbal. Hal ini pun juga bisa menggunakan
cara berdongeng. Pesan verba merupakan pesan dari penutur atau penulis kepada
pendengar atau pembaca secara tertulis atau lisan. Sedangkan untuk pesan non-verbal
merupakan pesan yang berupa ekspresi dari penutur berupa gerakan, mimik muka,
dan intonasi yang sesuai. Orangtua atau pendongeng ditutut harus ekspresif sesuai
dengan ucapan di dalam cerita dongeng tersebut. Harus ekspresif karena untuk
menghidupkan karakter atau suasana dalam cerita dongeng itu sendiri.
Keempat, melibatkan
anak dalam komunikasi. Orang-orang dewasa biasanya enggan melibatkan anak-anak
untuk berbicara atau mengungkapkan pendapat atau gagasan-gagasannya. Hal ini
sebenarnya kurang baik untuk perkembangan bahasa anak, karena anak akan merasa
tidak dianggap dan tidak dibutuhkan. Jika seperti ini anak akan memilih diam
dan tidak mau mengatakan pendapat-pendapatnya lagi.
Sebagai
orangtua harus mampu membangun komunikasi yang baik dengan anak. Orangtua
jangan mengacuhkan pendapat dari anak-anaknya, namun sebaiknya memberikan
respon yang baik terhadap pendapat anak tersebut. Begitu juga dengan cara
mendongengkan cerita kepada anak.
Dalam proses
berdongeng, orangtua atau pendongeng tidak hanya sekedar bercerita, namun
dongeng juga digunakan sebagai bentuk respon dari orangtua atau pendongeng
kepada anak. Misalnya saat berdongeng anak bertanya, terheran-heran ataupun
berkomentar tentang sesuatu yang berhubungan dengan dongeng tersebut, kemudian
orangtua atau pendongeng menjelasakannya dengan melanjutkan dongeng tersebut ataupun
dengan mengaitkan dengan cerita lain.
Syamsu Yusuf (2007: 119) dalam Ramli (2010) menjelaskan
bahwa perkembangan bahasa berkaitan erat dengan perkembangan berpikir anak.
Perkembangan berpikir anak mulai dari usia 1,6 –2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat yang terdiri
dari dua
atau tiga kata. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam berbahasa anak
dituntut untuk menuntaskan atau menguasai tugas pokok perkembangan bahasa.
Adapun tugas tersebut adalah pemahaman terhadap perkataan
orang lain, pengembangan perbendaharaan kata, penyusunan kata menjadi kalimat,
dan ucapan. Kemampuan mengucapkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui
imitasi terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain.
Tugas pokok perkembangan bahasa di atas juga diperkuat
dengan peranan bercerita menurut Tampubolon (1993:50). Tampubolon menyebutkan bahwa bercerita kepada anak
mempunyai peranan penting yang tidak hanya menumbuhkan minat dan kebiasaan
membaca, tetapi juga
berperan dalam mengembangkan bahasa dan pikiran anak.
Ada hal-hal
yang harus diperhatikan juga dalam berdongeng, yaitu isi cerita yang diminati
anak dan tingkat usia. Cerita dongeng yang disampaikan harus berisi tentang dunia kehidupan anak yang penuh suka cita dan memiliki unsur
gembira, lucu, dan menarik. Biasanya anak-anak akan lebih senang dengan cerita
yang berhubungan dengan binatang, robot, boneka, dan lain-lain. Pendongeng pun
harus mengerti tentang kebutuhan dan kemampuan anak untuk mencerna sebuah
cerita dongeng. setiap anak yang berbeda usia pasti berbeda dalam
memahami sebuah cerita dongeng.
Berikut adalah
ciri pokok perkembangan bahasa anak pada setiap usia tertentu oleh Tarigan
(1995) yang dapat didukung dengan menggunakan dongeng. Pertama, usia 2 – 3 tahun, anak-anak belajar mengenali dan menyebut
nama-nama benda dan tindakan dalam gambar. Hal tersebut bisa dilakukan dengan
melihat dari buku-buku dongeng. Orangtua dalam mendongeng disertai dengan memperlihatkan
gambar-gambar dalam buku dongeng tersebut.
Kedua, usia 3 – 4 tahun, bahasa digunakan
sebagai alat atau sarana membantu anak-anak untuk menentukan atau memahami
dunia mereka. Dengan membaca atau membacakan buku-buku cerita dongeng bergambar
akan memberi kesempatan kepada anak untuk mencari atau menemukan tokoh atau
sesuatu yang disukai. Selain itu, dengan buku cerita yang bergambar akan
meningkatkan serta mengembangkan pemakaian kosa kata deskriptif.
Ketiga, usia 4 – 5
tahun, bahasa anak-anak semakin abstrak; mereka menghasilkan kalimat-kalimat
yang baik dan benar secara gramatikal. Anak-anak juga akan mulai menyenangi
buku cerita yang menggunakan plot agak rumit. Mereka dapat menceritakan kembali
cerita-serita atau dongeng yang lebih panjang serta menceritakan isi buku
bergambar tanpa kata-kata.
Keempat, usia 5 – 6
tahun, anak-anak kebanyakan sudah menggunakan kalimat-kalimat kompleks dan mereka
mulai ingin mengubah bahasa lisan menjadi bahasa tulisan. Setelah mendengarkan
cerita dongeng, anak-anak diberi kesempatan untuk memerankan cerita mereka
sendiri dan menceritakan kembali cerita yang didengar dengan bahasa mereka
sendiri.
Kelima, usia 6 – 8
tahun, perkembangan bahasa anak berlangsung dan meningkat terus; banyak
kata-kata baru masuk ke dalam perbendaharaan kata atau kosa kata mereka.
Kebanyakan anak telah menggunakan kalimat-kalimat kompleks dengan klausa-klausa.
Hal tersebut bisa dibantu dengan membaca atau membacakan cerita-cerita yang
memperlihatkan model atau contoh nyata bagi perkembangan dan peningkatan struktur
bahasa.
Keenam, usia 8 – 10,
anak-anak mulai meghubungkan konsep-konsep dengan ide-ide atau gagasan-gagasan
umum. Menggunakan model-model tertulis dan lisan untuk membantu anak-anak
menguasai keterampilan-keterampilan berbahasa tersebut. Dengan diskusi atau
pembicaraan tentang cerita-cerita tersebut akan memberikan banyak kesempatan
bagi pengembangan dan peningkatan mutu kalimat-kalimat lisan mereka.
Ketujuh, usia 10 – 12,
mengandung implikasi mengembangkan serta meningkatkan mutu bahasa lisan dan
kegiatan-kegiatan berbahasa tulis sehingga anak-anak dapat menggunakan
struktur-struktur kalimat yang lebih kompleks atau lebih rumit (Norton, 1988 :
8 – 10). Hal tersebut juga menuntut para pendongeng terutama orangtua untuk
jeli dan bijaksana dalam memilih buku-buku cerita atau sastra yang sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan bahasa anak.
Dari penjelasan
di atas dapat diambil beberapa kesimpulan tentang pengaruh dongeng terhadap
perkembangan bahasa anak. Berdongeng akan membantu anak dalam proses
pengembangan bahasanya. Hal ini karena dongeng disajikan dalam suasana yang
santai dan menarik, serta menggunakan bahasa yang sederhana yang akan lebih
mudah dipahami oleh anak-anak.
Jika bahasa
anak terus berkembang, maka komunikasi anak dengan lingkungan sekitarnya dan
dalam bergaul dengan orang lain akan lebih mudah. Hal ini karena saat orangtua
mendongengkan cerita, anak akan melakukan aktivitas mendengarkan, berbicara
(bertanya atau berkomentar tentang sesuatu yang mengherankan), serta ikut
melihat gambar atau membaca tulisan jika sudah bisa membaca.
Anak yang
banyak mendengarkan dongeng akan semakin banyak kosa kata yang didapat oleh
anak atau perbendaharaan kata akan terus meningkat. Jika demikian, maka semakin
banyak anak akan dapat menyusun kosa kata tersebut menjadi satuan gramatikal
yang lebih tinggi, misalnya klausa atau kalimat. Anak pun akan mampu menyusun
bahasa lisan menjadi bahas tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Ramli. 2010.
“Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini”.
http://ramlimpd.blogspot.com/2010/10/penanaman-konsep-bilangan-pada-anak.html.
(Diunduh tanggal 6 Mei 2015).
Sudono,
Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat
Permainan. Jakarta: Grasindo.
Tampubolon. 1993. Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca pada Anak.
Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry
Guntur. 1995. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa.
0 komentar:
Posting Komentar